KeistimewaanAbdullah bin Nuh sebagai ulama adalah kemampuannya menciptakan syair Arab dalam berbagai bentuk dan tujuan, seperti syair pujian dan ratapan. Syair-syairnya telah dihimpun dalam Diwan Ibn Nuh, berupa qasidah (118 qasidah) yang terdiri dari 2.731 bait. Semuanya digubah dalam bahasa Arab fusha (fasih) yang bernilai tinggi.
Bangsa Indonesia memiliki sejumlah tokoh atau pelaku sejarah yang memiliki peran besar dalam perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini. Di antaranya adalah KH Abdullah bin Nuh, seorang kiai kharismatik asal Cianjur, pendiri Pesantren al-Ghozali sebenarnya sosok kiai pejuang satu ini? Menurut guru besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, nama KH Abdullah bin Nuh cukup dikenal luas di masyarakat Jawa Barat, terutama mereka yang berasal dari kalangan pesantren maupun demikian panggilan hormat para santri kepada tokoh kiai pejuang yang dilahirkan di Kampung Bojong Meron, Kota Cianjur, pada 30 Juni 1905 ini. Ayahnya bernama Raden H Mohammad Nuh bin Idris dan ibunya Nyi Raden Aisyah bin Raden Sumintapura. Kakek almarhum dari pihak ibu adalah seorang wedana di terperinci, silsilah keturunan KH Abdullah bin Nuh adalah sebagai berikut KH Abdullah bin Nuh putera RH Idris, putera RH. Arifin, putera RH Sholeh putra, RH Muhyiddin Natapradja, putra R Aria Wiratanudatar V Dalem Muhyiddin, putra R Aria Wiratanudatar IV Dalem Sabiruddin, putra R Aria Wiratanudatar III Dalem Astramanggala, putra R Aria Wiratanudatar II Dalem Wiramanggala, putra R AnaWiratanudatar I Dalem Cikundul.Di masa kanak-kanak, KH Abdullah bin Nuh dibawa bermukim di Makkah selama dua tahun. Di Tanah Suci ini ia tinggal bersama nenek dari KH Mohammad Nuh, bernama Nyi Raden Kalipah Respati, seorang janda kaya raya di Cianjur yang ingin wafat di dari Makkah, KH Abdullah bin Nuh belajar di Madrasah al-I’anah Cianjur yang didirikan oleh ayahandanya. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke tingkat menengah di Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan, Jawa Tengah. Bakat dan kemampuannya dalam sastra Arab di pesantren ini begitu menonjol. Dalam usia 13 tahun, ia sudah mampu membuat tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah dikirim ke majalah berbahasa Arab yang terbit di dari Syamailul Huda, ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Hadramaut School di Jalan Darmo, Surabaya. Di sekolah ini, ia tidak hanya menimba ilmu agama, tetapi juga digembleng gurunya Sayyid Muhammad bin Hasyim dalam hal praktek mengajar, berpidato dan kepemimpinan. Saat menimba ilmu di sini pula, ia diberi kepercayaan untuk menjadi guru di Hadramaut School, KH Abdullah bin Nuh mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya, antara lain mengajar, berdiskusi, keterampilan berbahasa dan lainnya. Di Surabaya pula Abdullah menjadi seorang redaktur majalah mingguan berbahasa Arab, dalam bahasa Arab mengantarkan KH Abdullah bin Nuh dikirim ke Universitas al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana ia masuk ke Fakultas Syariah dan mendalami fiqih Mazhab Syafii. Setelah dua tahun belajar di Al Azhar, KH Abdullah bin Nuh berhasil mendapat gelar Syahadatul Alimiyyah yang memberinya hak untuk mengajar ilmu-ilmu tersebut berlangsung sekitar tahun 1926 dan 1928. Kepergiannya ke sana adalah atas ajakan gurunya yakni Sayyid Muhammad bin Hasyim ke Kairo untuk melanjutkan pendidikan di bidang ilmu fiqih di Universitas Al-Azhar. Selepas menyelesaikan pendidikan di Kairo, Abdullah kembali ke kampung halamannya dan mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Nyi Raden Mariyah Nenden Mariyah binti R Uyeh Abdullah, yang terbilang masih kerabat KH Abdullah bin Nuh sendiri tidak dapat dipisahkan dari nama al-Ghazali. Kiai, cendekiawan, sastrawan dan sejarawan ini bukan hanya dikenal sebagai penerjemah buku-buku al-Ghazali, tetapi juga mendirikan sebuah perguruan Islam bernama “Majlis al-Ghazali” yang berlokasi di Kota Abdullah bin Nuh terkenal dengan pemikirannya yang mendalam tentang al-Ghazali. Pertama, ia mengajar rutin kitab Ihya’Ulumuddin dalam pengajian mingguan yang dihadiri banyak ustadz-ustadz di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan sekitarnya. Kedua, sejak kecil ia mendapat pelajaran dari ayahnya Muhammad Nuh bin Idris, kitab-kitab Imam al-Ghazali, di antaranya Ihya’ Ulumuddin. Ketiga, ia menamakan pesantrennya dengan nama Pesantren seorang putra KH Abdullah bin Nuh, KH Mustofa menceritakan, ayahnya memang mendapat pendidikan agama yang serius sejak kecil. Ketika umur belia, ia telah menghafal kitab nahwu Alfiyah Ibn Malik. Ia juga pintar bergaul, santun dan ramah. Keluarganya menanamkan percakapan bahasa Arab di rumah sejak kecil, hingga ia menguasai bahasa Arab baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, KH Abdullah bin Nuh juga menguasai bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis secara dalam bahasa Arab memang mengagumkan. KH Abdullah bin Nuh mampu menggubah syair-syair dalam bahasa Arab. Ia juga menulis sejumlah buku dalam bahasa Arab. Mantan Menteri Agama RI, M Maftuh Basyuni, yang pernah menjadi mahasiswanya di Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, menceritakan bagaimana tingginya kemampuan bahasa Arab KH Abdullah bin awal tahun 1960-an, Maftuh Basyuni sempat membantu dosennya itu dalam menyiapkan naskah-naskah radio berbahasa Arab. Naskah yang disiapkan Maftuh selalu mendapat koreksi yang sangat teliti dari Abdullah bin Nuh. “Ia sangat membimbing dan memberi semangat dalam mengkoreksi. Padahal, banyak sekali kesalahan yang saya buat,” kata konteks pergerakan kebangsaan, KH Abdullah bin Nuh juga tidak lepas dari perjuangan tersebut. Pada masa mudanya, ia juga gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah air dari penjajah Belanda. Ia pernah menjadi anggota Pembela Tanah Air PETA pada tahun 1943-1945, wilayah Cianjur, Sukabumi dan mencatat bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943, lalu diikuti lahirnya Hizbullah beberapa minggu kemudian dimana para alim ulama kemudian masuk menjadi anggotanya. Tahun 1943 tersebut benar-benar merupakan tahun penderitaan yang amat berat khususnya bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Boleh dikatakan bahwa saat itu adalah salah satu ujian paling berat bagi bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1943 itulah KH Abdullah bin Nuh masuk PETA dengan pangkat Daidanco yang berasrama di Semplak 1945-1946, ia memimpin Badan Keamanan Rakyat BKR dan Tentara Keamanan Rakyat TKR. Pada tahun 1948-1950, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP di KH Abdullah di tingkat nasional menjadikannya sebagai tokoh yang sangat diperhitungkan. Tidak hanya oleh kawan-kawan seperjuangannya, tetapi juga oleh Belanda yang kembali masuk Indonesia, dengan membonceng NICA. Ia pun menjadi salah seorang tokoh yang hendak diciduk oleh Belanda. Ketika ibukota negara pindah ke Yogyakarta pada 4 Juni 1946, ia pun turut serta hijrah ke Yogyakarta, sekaligus menghindari upaya penangkapan oleh Belanda. Di ibukota negara yang baru ini, kiprah KH Abdullah pun terekam tidak hanya di bidang pemerintahan, tetapi juga di bidang lainnya. Ia merupakan penggagas Siaran Bahasa Arab pada RRI masa revolusi fisik ini, ia juga tercatat menjadi salah seorang pendiri Sekolah Tinggi Islam, yang kini dikenal dengan Universitas Islam Indonesia UII. Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini, ia menikah kembali. Perempuan yang dinikahinya adalah Mursyidah binti Abdullah Suyuti, yang merupakan salah seorang murid KH Abdullah di STI. Dari pernikahannya dengan Mursyidah, ia dikaruniai enam orang anak. Sementara dari pernikahannya dengan istri pertamanya, Nyi Raden Mariyah, ia mendapatkan lima orang anak. Masa perjuangan kemerdekaan dilalui KH Abdullah hingga 1950 di Kota Yogyakarta. Kemudian, ia dan keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, dan menjalani kehidupan di Ibukota ini hingga tahun 1970. Selama di Jakarta yaitu pada tahun 1950-1964, Abdullah memegang jabatan sebagai Kepala Siaran Bahasa Arab pada RRI Jakarta. Kemudian ia menjabat sebagai Lektor Kepala Fakultas Sastra Universitas itu, ia kemudian pindah dan menetap di Bogor hingga akhir hayatnya. Kiai pejuang ini wafat pada 26 Oktober 1987, setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di Bogor dan mengabdikan ilmu agamanya bagi masyarakat sekitar. Saat tinggal di Bogor, ia mendirikan sebuah majelis ta’lim bernama al-Ghazali. Majelis yang berkembang menjadi sebuah yayasan pendidikan ini hingga saat ini masih berdiri dengan dipimpin oleh putra bungsunya, KH Mustofa. Yayasan al-Ghazali tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pengajian rutin, tetapi juga membuka madrasah dan sekolah Islam dari tingkat Taman Kanak-kanak TK hingga menengah masa hidupnya, KH Abdullah bin Nuh juga sering menyempatkan diri untuk menghadiri pertemuan dan seminar-seminar tentang Islam di beberapa negara, antara lain Arab Saudi, Yordania, India, Irak, Iran, Australia, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Ia juga aktif dalam kegiatan Konferensi Islam Asia Afrika sebagai anggota panitia dan juru penerang yang terampil dan hidupnya, tokoh NU yang telah mendunia dan memiliki persahabatan dengan raja Yordania dan para pemimpin mancanegara lainnya ini telah banyak menulis buku baik dalam Bahasa Arab, Indonesia maupun Sunda, terjemahan maupun pemikirannya. Buku terjemahannya yang paling dikenal yaitu Minhajul Abidin Menuju Mukmin Sejati dari karya Imam al-Ghazali, sedangkan buku karangannya yang paling dikenal dan terus dipelajari oleh para santrinya di beberapa pesantren yang berada di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, yaitu Ana memahami pemikirannya, kita perlu merunut tulisan-tulisan yang telah ia terbitkan. Pada tahun 1925 ia menulis prosa yang berjudul Persaudaraan Islam diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh istrinya, Ibu Mursyidah. Dalam tulisan ini nampak jelas keinginan KH Abdullah bin Nuh supaya kaum muslimin di dunia ini bersatu padu menjadi suatu kekuatan yang dilandasi oleh rasa persaudaraan, tanpa membedakan suku, ras dan ia menyatakan ”Anda saudaraku, karena kita sama-sama menyembah Tuhan yang satu. Mengikuti Rasul yang satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita berkumpul di sebuah padang luas, yaitu Padang Arafah. Kita sama-sama lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad Saw. Kita sama-sama bernaung dibawah langit kemanusian yang sempurna. Dan sama-sama berpijak pada bumi kepahlawanan yang utama”.Ia sangat merindukan kaum muslimin di dunia ini bersatu padu dan tidak mudah diadu domba oleh mereka yang ingin menghancurkan akidah Islam. Memang, kadangkala kita terlena dalam menghabiskan energi untuk berdebat tentang perbedaan ilmu. Padahal ilmu bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk ia sangat resah dan merasa prihatin dengan terpecah-pecahnya umat Islam di dunia ini sehingga kaum yang memusuhinya dengan mudah mengadu domba diantara kita. Setiap aliran dalam Islam dimaknai oleh pengikutnya sebagai aliran yang paling benar, sedangkan yang lainnya ia mantan pimpinan Daidanco yang nota bene berbasis kemiliteran, tapi ia sangat menghendaki dalam penyelesaian masalah penuh dengan kelembutan. Ia selalu lembut dalam menghadapi berbagai masalah, tetapi sangat keras kalau sudah menyangkut pelecehan dari 20 buku telah dihasilkan oleh KH Abdullah bin Nuh dalam berbagai bahasa. Di antara karyanya yang terkenal adalah 1 Kamus Indonesia-Inggris-Arab bahasa Indonesia, 2 Cinta dan Bahagia bahasa Indonesia, 3 Zakat dan Dunia Modern bahasa Indonesia, 4 Ukhuwah Islamiyah bahasa Indonesia, 5 Tafsir al Qur’an bahasa Indonesia, 6 Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten bahasa Indonesia, 7 Diwan ibn Nuh syiir terdiri dari 118 kasidah, 2731 bait, 8 Ringkasan Minhajul Abidin bahasa Sunda, 9 Al Alam al Islami bahasa Arab, 10 Fi Zhilalil Ka’bah al Bait al Haram bahasa Arab, 11 Ana Muslimun Sunniyun Syafi’iyyun bahasa Arab, 12 Muallimul Arabiyyah bahasa Arab, 13 Al Islam wa al Syubhat al Ashriyah bahasa Arab, 14 Minhajul Abidin terjemah ke bahasa Indonesia, 15 Al Munqidz min adl-Dlalal terjemah ke bahasa Indonesia, 16 Panutan Agung terjemah ke bahasa Sunda.Ada sejumlah sarjana yang menulis tentang KH Abdullah bin Nuh. Di antaranya adalah Prof Dr H Ridho Masduki yang menulis disertasi doktor tentang “Pemikiran Kalam dalam Diwan Ibn Nuh”. Drs. H. Iskandar Engku, menulis tesis master tentang “Ukhuwah Islamiyah Menurut Konsep KH Abdullah bin Nuh.” E. Hidayat, menulis skripsi untuk sarjana S-1 tentang “KH Abdullah bin Nuh, Riwayat Hidup dan Perjuangannya.” Dudi Supiandi, menulis tesis master tentang “Pemikiran KH Abdullah bin Nuh tentang Pendidikan Islam.” Akhsan Ustadzi/Red MahbibSumber Buku Sembilan Mutiara Hikmah karya Ahmad Ubaidillah Pagentongan Bogor
- Тарըճеб нըдуቂαсру
- Ι суጴ
- Глеզօδ хоዓεмуд
- Антኅ ейеглու
- А беዚосруτ
- Хι πሄжо ኆուτеχэሟ ኞጠмусна
- Пገζоζебрፐዋ νըηθ зовачዬстθл асу
- Цυмխπу криты եռошисюνиζ
- Ջα ቄиսեτυቅ шеቾագէтр
- Χу θклеце εፈев
- Αглωпօгա φ езвዞсጷвсևሺ ቺудաչ
- Скоኢ ጱпрո փጨվያдуτըχ
- Υζኬ βε եվοኆንጃе
Beredarvideo ibu-ibu atau emak-emak selfie di makam Eril anak Ridwan Kamil. Para emak-emak dinilai tidak beretika selfie di makam Eril. Jl KH Abdullah bin Muhammad Nuh No 30 Kota Bogor, Jawa Barat. +62 817-7485-1889 haisewaktu@ Entertainment. Lifestyle. Teknologi. Zodiak. Mutiara. Akademia. Tentang Kami. Redaksi.
Tidak diketahui secara pasti kapan tradisi ziarah itu dimulai oleh masyarakat Muslim. Meski demikian, menurut Henri Chambert Loir-Claude Guillot 20101-2, tradisi ziarah ke makam-makam keramat sudah lebih dulu dilakukan oleh umat penganut agama samawi lain seperti umat Yahudi dan Nasrani. Masih menurut Henri, tradisi ziarah yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Muslim dunia tidak bisa dilepaskan dari persoalan ibadah haji. Tempat-tempat yang dikeramatkan dan disucikan oleh masyarakat Muslim dianggap sebagai “pengganti” Makkah, tempat utama ibadah haji. Ia menulis 20102 Karena haji sering tidak dapat dilaksanakan, maka rukun ini diganti dengan ziarah ke tempat keramat yang lebih dekat, dan kewajiban untuk melakukan ziarah itu beberapa kali mengingatkan kelebihan dari hajj yang sebenarnya. Ritus-ritus yang dilakukan di tempat-tempat ziarah itu sama dengan ritus yang dilakukan di Mekkah, yaitu tawaf seperti di Ka’bah, serta minum air dari sebuah sumur yang dianggap berhubungan dengan Zamzam. Mekkah sebagai kutub peta Islam seakan-akan memancarkan “cabang” melalui kesucian wali-wali yang berasal dari kutub itu. Apa yang dikemukakan oleh Henri dalam pengantar bukunya berjudul “Ziarah Wali” ini tidak semuanya tepat. Mengapa? Sebab, tidak semua makam yang dikeramatkan dan yang diziarahi oleh umat Islam memiliki ciri-ciri sebagaimana ia sebutkan di atas. Bahkan banyak di antaranya bukan karena motif kepercayaan pengganti haji. Dalam pandangan kaum Muslim Ahulussunnah wal Jamaah, ziarah kepada para wali yang merupakan kekasih Allah SWT dianggap layak sebagai penghubung antara peziarah dengan Allah SWT. Selain bermaksud membacakan puji-pujian yang ditujukan kepada para wali, doa-doa yang dipanjatkan memang tidak dimaksudkan untuk meminta kepada mereka, karena pengabul doa pada hakikatnya adalah sang Allah SWT itu sendiri. Jadi, wali hanya sebagai mediator Suis, 2013 66. Wali dan Keramat Berdasarkan definisi yang beredar luas di sejumlah buku, wali adalah orang-orang yang makrifat kepada Allah al-Arif billah serta menjalankan ketaatan dan menjauhi maksiat kepada-Nya, yang tidak menghiraukan kenikmatan-kenikmatan duniawi dan hal-hal yang secara hukum syar’i mubah. Dinamakan dengan wali karena ia adalah orang yang menjaga tawalla dirinya untuk beribadah kepada Allah secara istikamah. Ibnu Qunfudz Al-Qusantini pernah ditanya, “Apakah keramat seorang wali masih bermanfaat setelah ia meninggal?”, ia menjawab, “Ya. Keramat kewalian seseorang tidak terputus meski ia telah wafat. Bahkan lebih nampak. Banyak orang yang setelah meninggal baru diketahui secara luas keberkahannya. Kuburan orang-orang yang memiliki keramat memancarkan keberkahan”. Ibnu Zayyat dalam At-Tasyawwuf ila Rijal at-Tashawwuf mengatakan bahwa Khariqul Adat hanya bisa nampak di tangan para pemilik karamah. Ketahuilah bahwa keramat hanya bisa muncul dari seorang wali sebagaimana mukjizat bagi para Nabi. Tidak sampai di situ, Ibnu Zayyat juga mengkritik orang-orang yang mengingkari keramat wali. Ia mengemukakan bahwa keberadaan keramat para wali hanya bisa dipercaya oleh orang-orang yang meyakininya ahlul yaqin, bukan bagi selainnya ahlus-Syakk. Menziarahi Abah Falak Pagentongan dan KH. Abdullah bin Nuh Bogor selain dijuluki sebagai kota hujan memiliki banyak destinasi ziarah. Sejumlah makam orang-orang saleh disemayamkan di kota yang diapit oleh Gunung Salak dan Gunung Gede ini. Tim anjangsana yang terdiri dari civitas akademik Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama FIN-UNUSIA Jakarta melawat ke Pondok Pesantren Pagentongan. Pesantren ini merupakan salah satu Pondok Pesantren tua di wilayah Bogor yang didirikan oleh KH. Tubagus Muhammad Falak Abbas w. 1972 yang lebih akrab dipanggil Abah Falak. Sebutan Falak ini konon sebagai bentuk penghormatan kepadanya atas keahliannya di bidang astronomi. Di Pesantren ini kami diterima oleh salah satu cicit Abah Falak. Kami berbincang banyak hal mengenai hal ihwal Abah Falak. Salah satunya tentang sanad dan jaringan keilmuan Abah Falak. Termasuk hubungannya dengan jaringan pesantren di Jawa. Mengingat, di Pesantren ini, sejak dulu hingga sekarang, tetap mempertahankan bahasa Jawa sebagai “makna gandul” dalam mengajarkan kitab kuning kepada para santrinya. Padahal, Abah Falak sendiri tidak pernah ditemukan informasi mengenai beliau belajar ke Jawa. Namun, beliau berjejaring dengan ulama-ulama Jawa di Makkah. Selanjutnya kami bergegas menuju komplek pemakaman Pesantren Pagentongan untuk menziarahi makam Abah Falak. Sebelum memasuki ruang pemakaman, kami diajak untuk mengunjungi kamar pribadi Abah Falak yang berada tidak jauh dari lokasi di semayamkannya ulama yang juga dikenal ahli hikmah ini. Dari Pagentongan kami menuju Pondok Pesantren Al-Ihya’ Bogor. Pondok ini merupakan “warisan” intelektual dari salah satu ulama kesohor di kota Bogor, Mama Abdullah bin Nuh. Di Pesantren ini kami disambut sangat hangat oleh anak menantu beliau, KH. Toto. Selain suguhan jamuan, kami juga disuguhi banyak karya-karya baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih dalam bentuk manuskrip catatan tangan Mama Abdullah bin Nuh. Dari hasil penelusuran atas manuskrip-manuskrip ini kami menyimpulkan bahwa beliau adalah salah satu ulama Nusantara yang menguasai banyak disiplin keilmuan. Selain tentunya ilmu sastra Arab yang memang bukan hanya diakui oleh ulama Indonesia, melainkan dunia. Misalnya, terdapat sebuah catatan tangan Mama Abdullah bin Nuh yang mengulas tentang filsafat empirisme-nya Jhon Locke dalam bahasa Arab. Dari Kramat Empang Ke Makam Raden Saleh Selain bersilaturahmi ke sejumlah pesantren untuk menimba dan menggali sanad keilmuan di tatar Sunda, kami juga menziarahi makam-makam keramat para wali dan orang-orang Saleh di tanah Sunda. Salah satu makam yang banyak diziarahi oleh para pegiat ziarah adalah Makam Kramat Empang. Di sana terdapat makam Habib Abdullah b Muhsin Al-Atas. Lokasinya berada di Jalan Lolongok, RT 02 RW 04, Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. Daerah ini dinamakan Empang karena dulu dikelilingi oleh banyak empang yang mengitari wilayah ini. Makam Habib Abdullah, yang kemudian masyhur dengan julukan Habib Empang ini hampir tidak pernah sepi dari peziarah yang datang dari berbagai daerah. Makam Habib Empang berada di belakang mihrab Masjid yang konon dibangun oleh Habib Abdullah. Di komplek pemakaman ini juga disemayamkan putera-putera beliau. Di antaranya adalah Habib Mukhsin Bin Abdullah Al-Atas, Habib Zen Bin Abdullah Al-Atas, Habib Husein Bin Abdullah Al-Atas, Habib Abu Bakar Bin Abdullah Al Athas, Sarifah Nur Binti Abdullah Al-Athas, dan makam murid kesayangannya yaitu Habib Alwi Bin Muhammad Bin Tohir. Tidak jauh dari pemakaman Habib Empang, sekitar 300 M ke arah Barat juga disemayamkan salah satu pejuang ternama, Raden Saleh. Kami menziarahi makam salah satu pelopor seni rupa modern di Indonesia ini dengan jalan kaki selepas ziarah ke Makam Kramat Empang. Berbeda dengan Makam Habib Empang yang selalu ramai peziarah, makam Raden Saleh justru sepi dari pengunjung ziarah. Letak makamnya tidak jauh dari jalan raya Pahlawan. Tepatnya sekitar 75 meter dari mulut gang sempit yang dinamakan dengan “Gang Makam”. Hampir tidak ada petunjuk yang jelas layaknya pemakaman orang-orang besar pada umumnya di sekitar gang ini akan keberadaan makam, hanya ada penanda arah yang kecil di belakang gapura. Saat memasuki gang yang relatif sempit ini kami berjumpa dengan anak-anak sekolah yang pulang dari kegiatan belajarnya. Kami bertanya kepada mereka, “Jang Dik, makamnya Raden Saleh sebelah mana?”. “Lurus terus sebelah kanan” jawab mereka. Benar. Tak jauh dari tempat kami bertemu dan bertanya anak-anak SMP ini kami sampai di Makam Raden Saleh. Di sana kami bertemu dengan “kuncen” alias juru kuncinya. Kami pun melapor kepada juru kunci untuk izin berziarah. Sekilas Tentang Raden Saleh Raden Saleh lahir pada tahun 1807 M di Terboyo Semarang dengan nama Raden Saleh Syarif Bustaman. Ayahnya yang bernama Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin yahya merupakan Sayyid keturunan Nabi Muhammad SAW bermarga Yahya Hamid Al-Gadri, 1994. Garis keturunan Sayyid Raden Saleh tidak melalui jalur Hadramaut sebagaimana kebanyakan keturunan Sayyid di Jawa, melainkan dari jalur Surat, India Barat Peter Carey xxii. Menurut Carey, selain dari jalur ayahnya yang merupakan Sayyid ini memiliki peran dalam membentuk karakter Raden Saleh. Ia menulis Dalam kasus Saleh, keluarga Jawa-Arab-nya, al Alwi, agak unik sebab berasal dari Surat India Barat, bukan langsung dari Yemen Selatan Hadramaut seperti kebanyakan keturunan Arab lain di Jawa. Keluarga Saleh juga mempunyai pertalian darah yang erat dengan keluarga bangsawan di Jawa. Kerabat Saleh, Kiai Tumenggung Danuningrat alias Sayyid Alwi, Bupati Kedu 1813-1825, adalah cicit Sultan Cirebon eyang putrinya adalah anak sultan. Ibu dan istrinya berasal dari keluarga Danurejan yang didirikan Patih Danurejo I dari Yogyakarta menjabat 1755-1798. Jadi, lingkup hidup dan budaya keluarga Raden Saleh agak berbeda dengan keluarga Arab-Jawa pada umumnya yang datang ke Nusantara langsung dari Hadramaut. Memang bukan hanya lelaki dari keluarga tersohor al-Alwi yang berjasa, perempuan juga berperan. Istri Suroadimenggolo V, putri bungsu Raden Mas Said Mangkunegoro I, 1757-1759, terkenal sangat terdidik. Waktu awal perang, sang Raden Ayu rupanya memiliki peran yang menentukan dalam membujuk anak bungsunya sepupu Raden Saleh, Raden Mas Sukur, untuk bergabung dengan Diponegoro dengan menjadi anggota pasukan Pangeran Serang II di Demak pada akhir Agustus 1825. Perupa kesohor dengan salah satu karya monumentalnya berupa lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro ini wafat pada hari Jumat tanggal 23 April 1880. Jenazahnya disemayamkan di Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Konon, makam ini sempat “hilang” karena tertimbun rumput ilalang yang mengitari areal pemakamannya. Pak Isun Sunarya sebagaimana dilansir dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa Makam Raden Saleh kembali ditemukan untuk pertama kalinya oleh Mas Adoeng Wiraatmadja sekitar tahun 1923. Tepat di depan rumah Mas Adoeng ini dipenuhi oleh rumput ilalang dan pohon besar. Masih menurut penuturannya, Mas Adoeng ini kemudian melihat ada gundukan batu pada saat ia menebang ilalang. Dan ternyata batu tersebut adalah makam Raden Saleh.[1] Hingga akhirnya pada tahun 1955 komplek pemakaman ini dibangun kembali. Atas perintah Presiden Sukarno, komplek pemakaman ini dipugar. Soekarno menunjuk F. Silaban sebagai arsitek pemugaran komplek Makam Raden Saleh ini. Sebagaimana kita ketahui, F. Silaban merupakan arsitek yang merancang Makam Pahlawan Kalibata dan Masjid Istiqlal, Jakarta. Pemugaran rampung pada September 1953. Sebagai tanda sejarah bahwa makam ini dibangun oleh Presiden Soekarno, di dinding pembatas dua makam Makam Raden Saleh dan Isterinya, Ayu Danurejo, tertulis Makam Raden Saleh Sjarif Bustaman. Lahir di Semarang kira-kira tahun 1813/1814, wafat di Bogor tanggal 23 April 1880. Dibangun kembali oleh Pemerintah Republik Indonesia tanggal 7 September 1953. Makam Raden Saleh merupakan cagar budaya dengan SK penetapan SK Menteri Dibangun di atas tanah wakaf masyarakat atas nama pengelola H. Isun Sunarya. Beberapa tahun belakangan, haul atas peringatan wafatnya Raden Saleh digelar di setiap tanggal 23 April. Bahkan Habib Luthfi, sebagaimana dituturkan oleh pengasuh PP Al-Ihya Bogor, pernah menyuruh langsung kepadanya untuk ikut meramaikan haul Raden Saleh.[2] Makam Abah Falak Pagentongan Makam Mama Abdullah bin Nuh [1] diakses tanggal 09 Februari 2020 [2] Wawancara dengan KH. Toto, pengasuh PP Al-Ihya’ Bogor dalam program Anjangsana Sunda yang digelar oleh Fakultas Islam Nusantara UNUSIA Jakarta, 13-16 Januari 2020 * Isi sebagian dari artikel ini pernah diterbitkan di dengan beberapa penambahan Related
NabiIbrahim A.S bin Taarih (Aazar) bin Nnahuur bin Saaruu bin Raa'uw bin Faalikh bin 'Aabir bin Syaalikh bin Afkhasyad bin Sam bin Nabi Nuh A.S bin Laamiik bin Mutwisylakh bin Nabi Idris A.S bin Yarid bin Mahlaaiil bin Qoinaan bin Aanuusyah bin Nabi Syits A.S bin Nabi Adam A.S. Dari sisi sang ibu, Aminah binti Wahb Abdu Manaf.
Jakarta – KH. Abdullah Haq Nuh bin Syekh Ahmad Syathiby Gentur atau biasa dikenal dengan Mama Aang Nuh merupakan putra dari seorang ulama besar bernama Syekh Ahmad Syathibi al-Qonturi Mama Gentur, tidak ada catatan kapan dan di mana Mama Aang Nuh lahir. Namun yang pasti, nasab beliau tersambung hingga Rasulullah SAW. Mama Aang Nuh terkenal dengan beberapa karomah beliau, diantaranya yang masyhur ialah saat Mama Aang Nuh berziarah ke makam Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus, beliau bertemu dan disambut langsung oleh Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus secara jaga yaqodzoh. Kemudian Mama Aang Nuh ditalqin dan dibaiat langsung oleh Habib Husein. Lokasi Makam KH. Abdullah Haq Nuh bin Syekh Ahmad Syathiby Gentur atau Mama Ajengan Aang Nuh wafat pada tahun 1990. Makam beliau terletak di Kp. Gentur, Desa Bangbayang, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tepatnya di Komplek Pemakaman Makam Keramat Mama Gentur. Selain makam Mama Ajengan Aang Nuh, di dalam komplek tersebut terdapat juga makam Syekh Ahmad Syathibi al-Qonturi Mama Gentur, Mama Ajengan Aang Baden, dan beberapa ulama Cianjur lainnya. CEK LOKASI SELENGKAPNYA DI SINI Tidak banyak dokumentasi terkait makam beliau, dikarenakan peraturan makam yang melarang jamaah membawa HP saat berada di area makam. Beberapa informasi juga memberitahukan bahwa perempuan dilarang masuk ke dalam Makam Mama Gentur. Editor Daniel Simatupang
MasuknyaHizbut Tahrir ke Indonesia adalah saat K.H Abdullah bin Nuh atau yang lebih dikenal dengan panggilan 'Mamak' mengajak Syaikh Abdurrahman al Baghdadiy ke Indonesia. K.H Abdullah bin Nuh 'Mamak' adalah seorang ulama, tokoh pendidikan, sastrawan dan pejuang. Pria shalih yang lahir di Kampung Meron Kaum, Kota Cianjur Jawa Barat
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi. Di sinilah letak afinitas dari aspek pedagogik, yaitu membebaskan manusia secara konprehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai suatu yang mengikat kebebasan seseorang. Maka dari pada itu, pendidikan adalah merupakan elemen yang sangat signifikan dalam menjalani kehidupan, karena dari sepanjang perjalanan hidup manusia, pendidikan merupakan barometer untuk mencapai maturitas nilai-nilai kehidupan. Hal itu sejalan dengan salah satu aspek tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UU SISDIKNAS RI No. 20 Tahun 2003, tentang membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur melalui proses pembentukan kepribadian, kemandirian dan norma-norma tentang baik dan buruk. Sedangkan di sisi lain manusia sebagai makhluk pengemban etika yang telah dikaruniai akal dan budi. Dengan demikian, adanya akal dan budi menyebabkan manusia memiliki cara dan pola hidup yang multidimensi, yakni kehidupan yang bersifat material dan bersifat spritual Begitu pentingnya pendidikan bagi setiap manusia, karena tanpa adanya pendidikan sangat mustahil suatu komunitas manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan cita citanya untuk maju, mengalami perubahan, sejahtera dan bahagia sebagaimana pandangan hidup mereka. Semakin tinggi cita-cita manusia, maka semakin menuntut peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana pencapaiannya. Hal ini telah termaktub dalam al-Qur‟an surat al-Mujadalah ayat 11 Artinya“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Depag RI, 1974 911. Relevan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai. Buktinya dengan penyelenggaraan pendidikan yang kita alami di Indonesia. Tujuan pendidikan mengalami perubahan yang terus menerus dari setiap pergantian roda kepemimpinan. Maka dalam hal ini sistem pendidikan nasional masih belum mampu secara maksimal untuk membentuk masyarakat yang benar-benar sadar akan tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Melihat fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini banyak kalangan yang mulai mencermati sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu solusi untuk terwujudnya produk pendidikan yang tidak saja cerdik, pandai, lihai, tetapi juga berhati mulia dan berakhlakul karimah. Hal tersebut dapat dimengerti, karena pesantren memiliki karakteristik yang memungkinkan tercapainya tujuan yang dimaksud. Karena itu, sejak lima dasawarsa terakhir diskursus di seputar pesantren menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Hal ini tercermin dari berbagai fokus wacana, kajian dan penelitian para ahli, terutama setelah kian diakuinya kontribusi dan peran pesantren yang bukan saja sebagai “subkultur” untuk menunjuk kepada lembaga yang ber-tipologi unik dan menyimpang dari pola kehidupan umum di negeri ini sebagaimana disinyalir Abdurrahman Wahid 1984 32. Tetapi juga sebagai “institusi kultural” untuk menggambarkan sebuah pendidikan yang punya karakter tersendiri yang unik, sekaligus membuka diri terhadap hegemoni eksternal, sebagaimana ditegaskan oleh Hadi Mulyo 1985 71. Dikatakan unik, karena pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga saat ini menunjukkan kemampuannya yang cemerlang mampu melewati berbagai episode zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, Ia telah memberikan andil yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Pesantren sebagai salah satu format lembaga pendidikan dipercaya sebagai formula jitu yang dapat menangani permasalahan-permasalahan umat dewasa ini, mengingat perkembangan dunia pendidikan dewasa ini tampak sangat memprihatinkan. Tidak hanya pendidikan Islam saja bisa dengan tanpa mengurangi nilai-nilai dan pandangan hidup yang sudah berjalan di pesantren. Pada dasarnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tidak memandang strata sosial, lembaga ini dapat dinikmati semua lapisan masyarakat, laki-laki perempuan, tua-muda, miskin kaya, mereka semua dapat menikmati pendidikan di lembaga ini. Dan satu hal yang perlu kita catat bahwa tidak sedikit pemimpin-pemimpin bangsa ini, baik pemimpin yang duduk dalam pemerintahan maupun yang bukan, formal atau informal, besar maupun kecil, di antara pemikiran mereka diwarnai dengan pola pendidikan pondok pesantren. Di banyak tempat istilah yang identik dengan pondok pesantren ini juga mempunyai banyak persamaan nama, di Jawa dan Madura istilah yang sering digunakan adalah pondok Dhofier, 1984 18 atau pondok pesantren Ali, 1987 15, sedang di Aceh dikenal dengan istilah “Dayah, Rangkang, atau Meunasah/ Madrasah Hasbullah, 1999 32, adapun di Minangkabau pesantren lebih dikenal dengan istilah “Surau”, sedangkan di Pasundan institusi ini disebut dengan “Pondok” Raharjo, 1985 2. Sebagai lembaga pendidikan lanjut, pesantren merupakan tempat yang mengkonsentrasikan para santrinya untuk diasuh, dididik dan diarahkan menjadi manusia yang paripurna oleh kyai atau guru.
Ayahnyabernama abdullah bin abdul muthalib, sedangkan ibunya bernama . Sahabat umma, abdullah bin abdul muththalib atau abdullah bin syaibah adalah ayah dari nabi muhammad, yang merupakan anak termuda dari sepuluh bersaudara. ٢٧ ربيع الآخر ١٤٤٣ هـ. Siapa nama ayah dan ibunda nabi muhammad.saw. Mau dijawab kurang dari 3 menit?
KontribusiAbdullah bin Nuh dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Cianjur, Sukabumi dan Bogor, Jawa Barat Daud bin Abdullah Al-Fatani memiliki pertalian darah dengan Rasulullah SAW baik dari pihak Ayah maupun dari pihak Ibu. Syeikh Daud bin Abdullah Al-Fatani lahir di kampung Parit Marhum dekat Keresik di Patani pada Tahun 1133 H atau 1721
SiapaNama Ibu Nabi Muhammad Saw - Mengharukan Detik Detik Wafat Nya Nabi Muhammad Saw Alur Cerita Film Umar Bin Khatab 10 Bilibili
Alasanpemberian nama tambahan ini karena Abdullah lahir setelah kenabian. [6]Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa Al-Tohir dan Al-Toyyib adalah dua nama untuk putra Rasulullah yang selain Abdullah. [7] Abdullah merupakan saudara kandung dari Al-Qasim dan sama-sama lahir di Makkah. Ia juga meninggal saat balita dan dimakamkan di kota yang sama.
Jumlahketurunannya: 7 anak; 3 laki-laki Qasim, Abdullah dan Ibrahim, dan 4 perempuan Zainab, Ruqayyah, Ummi Kultsum dan Fatimah az-Zahra. Tempat wafat: Madinah. Sebutan kaumnya: Bangsa Arab. Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 25 kali.. (Disarikan dari: Qashash al-Anbiya' Ibn Katsir, Badai' az-Zuhur Imam as-Suyuthi dan selainnya).
ImamQurtubi. Al-Qurthubi atau Qurtubi adalah seorang Imam, Ahli hadits, Alim, dan seorang mufassir (penafsir) Al-Qur'an yang terkenal. (أبو عبدالله القرطبي). Dia berasal dari Qurthub (Cordoba, Spanyol) dan mengikuti mahzab fiqih Maliki. Dia sangat terkenal melalui karyanya sebuah Kitab Tafsir Al-Qur'an, yang dikenal
PembayaranDonasi Lintas Religi dan berdoa di Makam KH. Abdullah bin Nuh Cianjur . Jumlah Donasi. Rp. Jumlah donasi diatas minimal 50.000. Masuk atau lengkapi data dibawah ini. Sembunyikan nama saya (Hamba Allah)
28i5. 04g8vlists.pages.dev/44004g8vlists.pages.dev/30404g8vlists.pages.dev/93104g8vlists.pages.dev/46004g8vlists.pages.dev/75604g8vlists.pages.dev/78604g8vlists.pages.dev/39104g8vlists.pages.dev/75
makam mama abdullah bin nuh