inilahkisah baratayuda perang besar mahabarata versi. tokoh wayang dalam lakon kurawa dan pandawa di tanah air. gambar wayang wayang mahabharata 2 djawa June 9th, 2018 - Setiap Bulan Purnama Cerita Wayang Bahasa Jawa Ramayana Bisa Dinikmati Di Kawasan Candi Prambanan
Baratayuda Artikel ini mengenai kisah pertempuran besar antara Pandawa melawan Korawa menurut versi pewayangan. Untuk artikel sejenis yang mengandung mitologi dan sejarah, lihat Perang di Kurukshetra. Baratayuda adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India. Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha, yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta. Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848. Sebab Peperangan Kurukshetra, lokasi tempat Bharatayuddha berlangsung di India. Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi Mahabharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa atau Yudistira melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana. Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi. Selain itu, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut pewayangan bukan berlokasi di India, melainkan berada di Jawa. Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di Pulau Jawa. Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, sehingga membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu. Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi Mahabharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu. Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Keputusan inilah yang membuat perang Baratayuda tidak dapat dihindari lagi. Kitab Jitabsara Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi Mahabharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara Guru, raja kahyangan. Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata. Aturan Peperangan Ilustrasi saat perang di Kurukshetra dalam kitab Mahabharata. Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju. Sebagai contoh, apabila dalam versi Mahabharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima. Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh Duryudana sendiri, yang seringkali dilakukannya tanpa perhitungan cermat. Pembagian babak Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan 1 Seta Gugur Babak 2 Tawur Bisma Gugur Babak 3 Paluhan Bogadenta Gugur Babak 4 Ranjapan Abimanyu Gugur Babak 5 Timpalan Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur Babak 6 Suluhan Gatotkaca Gugur Babak 7 Karna Tanding Babak 8 Rubuhan Duryudana Gugur Babak 9 Lahirnya Parikesit Jalannya pertempuran Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama. Babak pertama Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma Resi Bisma sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti “gunung samudra.” Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada pemukul Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika. Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa. Babak Kedua Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna Trustajumena sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang Garuda terbang. Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga anak Setyaki, Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna. Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi isma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut, Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi. Tawur demi kemenangan Dalam babak ini juga diadakan korban demi syarat kemenangan pihak yang sedang berperang. Resi Ijrapa dan anaknya Rawan dengan sukarela menyediakan diri sebagai korban Tawur bagi Pandawa. Keduanya pernah ditolong Bima dari bahaya raksasa. Selain itu satria Pandawa terkemuka, Antareja yang merupakan putra Bima juga bersedia menjadi tawur dengan cara menjilat bekas kakinya hingga tewas. Sementara itu Sagotra, hartawan yang berhutang budi pada Arjuna ingin menjadi korban bagi Pandawa. Namun karena tidak tahu arah, ia bertemu dengan Korawa. Oleh tipu muslihat Korawa, ia akan dipertemukan dengan Arjuna, namun dibawa ke Astina. Sagotra dipaksa menjadi tawur bagi Korawa, namun menolak mentah-mentah. Akhirnya, Dursasana, salah satu anggota Kurawa membunuhnya dengan alasan sebagai tawur pihak Korawa. Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa. Kutipan Terjemahan Ri huwusirə pinūjā dé sang wīrə sirə kabèh, ksana rahinə kamantyan mangkat sang Drupada sutə, tka marêpatatingkah byūhānung bhayə bhisamə, ngarani glarirèwêh kyāti wīrə kagəpati Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah “Garuda” yang masyur gagah berani Drupada pinakə têndas tan len Pārtha sirə patuk, parə Ratu sirə prsta śrī Dharmātmaja pinuji, hlari têngênikī sang Drstadyumna sahə balə, kiwə pawanə sutā kas kocap Satyaki ri wugat Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya Ya tə tiniru tkap Sang śrī Duryodhana pihadhan, Sakuni pinakə têndas manggêh Śālya sirə patuk, dwi ri kiwa ri têngên Sang Bhīsma Drona panalingə, Kuru pati Sirə prstə dyah Duśśāsana ri wugat Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana pada ekor Ri tlasirə matingkah ngkā ganggā sutə numaso, rumusaki pakekesning byuhē pāndawə pinanah, dinasə gunə tkap Sang Pārthāng laksə mamanahi, linudirakinambah de Sang Bhīma kasulayah Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan Karananikə rusāk syuh norā paksə mapuliha, pirə ta kunangtusnyang yodhāgal mati pinanah, Kurupati Krpa Śalya mwang Duśśāsana Śakuni, padhə malajêngumungsir Bhīsma Drona pinakə toh Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru – Pendeta Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan Niyata laruta sakwèhning yodhā sakuru kula, ya tanangutusa sang śrī Bhīsma Drona sumuruda tuwi pêtêngi wêlokning rènwa ngdé lêwu wulangun, wkasanawa tkapning rah lumrā madhêmi lebū Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa, jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu Ri marinika ptêng tang rah lwir sāgara mangêbêk, maka lêtuha rawisning wīrāh māti mapupuhan, gaja kuda karanganya hrūng jrah pāndanika kasêk, aracana makakawyang śārā tan wêdi mapulih Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam Irika nasēmu képwan Sang Pārthārddha kaparihain, lumihat i paranāthākwèh māting ratha karunna, nya Sang Irawan anak Sang Pārthāwās lawan Ulupuy, pêjah alaga lawan Sang Çrênggi rākshasa nipunna Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung

Migrasisuku Jawa membuat bahasa Jawa bisa ditemukan di berbagai daerah, bahkan di luar negeri. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

PERANG BARATAYUDA Baratayuda, adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India. Baratayudha merupakan nama dari sebuah peperangan antara Kurawa dan pandawa. Kata “Barata” sendiri yang berarti Perang dan ”Yudha” yang berarti keluarga, jadi Barata Yudha Adalah “perang kuluarga”. Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha Perang Bharata, yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Sebenarnya kitab baratayuda yang ditulis pada masa Kediri itu untuk simbolisme keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala yang sama sama keturunan Raja Erlangga . Keadaan perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya Vyasa yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya juga keturunan Vyasa sang penulis Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta. Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848. Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi Mahabharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa atau Yudistira melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana. Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi. Selain itu, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut pewayangan bukan berlokasi di India, melainkan berada di Jawa, tepatnya di dataran tinggi Dieng. Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di Pulau Jawa. Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, kenapa yang dipilih Gendari? Karena sekali lagi Dretarastra buta, ia tidak dapat melihat apapun, jadi ketika ia memilih ketiga putri itu yang dengan cara mengangkat satu per satu, terpilih lah Gendari yang mempunyai bobot paling berat, sehingga Dretarastra berpikir bahwa kelak Gendari akan mempunyai banyak anak, sama seperti impian Dretarastra. Hal ini membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Gendari merasa ia tak lebih dari piala bergilir. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu. Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi Mahabharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu. Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Sebenarnya Yudhistira Saudara sulung dari Pandhawa, hanya menginginkan 5 desa saja untuk dikembalikan ke pandhawa. Tidak utuh satu Amarta yang dituntut. tetapi Korawa pun tidak sudi memberikan satu jengkal tanah pun ke pandhawa. Akhirnya keputusan diambil lewat perang Baratayuda yang tidak dapat dihindari lagi. Kitab Jitabsara Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi Mahabharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara Guru, raja kahyangan. Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata. Aturan Peperangan Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju. Sebagai contoh, apabila dalam versi Mahabharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima. Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh para penasihat Duryudana yaitu Bisma, Durna dan Salya. Pembagian babak Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan Jawa. Babak 1 Seta Gugur Babak 2 Tawur Bisma Gugur Babak 3 Paluhan Bogadenta Gugur Babak 4 Ranjapan Abimanyu Gugur Babak 5 Timpalan Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur Babak 6 Suluhan Gatotkaca Gugur Babak 7 Karna Tanding Babak 8 Rubuhan Duryudana Gugur Babak 9 Lahirnya Parikesit Jalannya pertempuran Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama. Babak pertama Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma Resi Bisma sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti "gunung samudra." Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada pemukul Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika. Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa. Babak Kedua Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna Trustajumena sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang Garuda terbang. Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga anak Setyaki, Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna. Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut di medan pertempuran menghadapi Bisma. Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi. Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa. Kutipan Terjemahan Ri huwusirÉ™ pinÅjā dé sang wÄrÉ™ sirÉ™ kabèh, ksana rahinÉ™ kamantyan mangkat sang Drupada sutÉ™, tka marêpatatingkah byÅhānung bhayÉ™ bhisamÉ™, ngarani glarirèwêh kyāti wÄrÉ™ kagÉ™pati Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah “Garuda” yang masyur gagah berani Drupada pinakÉ™ têndas tan len Pārtha sirÉ™ patuk, parÉ™ Ratu sirÉ™ prsta Å›rÄ Dharmātmaja pinuji, hlari têngênikÄ sang Drstadyumna sahÉ™ balÉ™, kiwÉ™ pawanÉ™ sutā kas kocap Satyaki ri wugat Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya Ya tÉ™ tiniru tkap Sang Å›rÄ Duryodhana pihadhan, Sakuni pinakÉ™ têndas manggêh Śālya sirÉ™ patuk, dwi ri kiwa ri têngên Sang BhÄsma Drona panalingÉ™, Kuru pati SirÉ™ prstÉ™ dyah Duśśāsana ri wugat Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana pada ekor Ri tlasirÉ™ matingkah ngkā ganggā sutÉ™ numaso, rumusaki pakekesning byuhÄ“ pāndawÉ™ pinanah, dinasÉ™ gunÉ™ tkap Sang Pārthāng laksÉ™ mamanahi, linudirakinambah de Sang BhÄma kasulayah Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan KarananikÉ™ rusāk syuh norā paksÉ™ mapuliha, pirÉ™ ta kunangtusnyang yodhāgal mati pinanah, Kurupati Krpa Åšalya mwang Duśśāsana Åšakuni, padhÉ™ malajêngumungsir BhÄsma Drona pinakÉ™ toh Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru – Pendeta Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan Niyata laruta sakwèhning yodhā sakuru kula, ya tanangutusa sang Å›rÄ BhÄsma Drona sumuruda tuwi pêtêngi wêlokning rènwa ngdé lêwu wulangun, wkasanawa tkapning rah lumrā madhêmi lebÅ Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa, jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu Ri marinika ptêng tang rah lwir sāgara mangêbêk, maka lêtuha rawisning wÄrāh māti mapupuhan, gaja kuda karanganya hrÅng jrah pāndanika kasêk, aracana makakawyang śārā tan wêdi mapulih Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam Irika nasÄ“mu képwan Sang Pārthārddha kaparihain, lumihat i paranāthākwèh māting ratha karunna, nya Sang Irawan anak Sang Pārthāwās lawan Ulupuy, pêjah alaga lawan Sang Çrênggi rākshasa nipunna Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung April13th, 2019 - Ingin tahu cerita wayang mahabarata bahasa jawa secara lengkap Simak sebuah sinopsis dalam bahasa jawa di bawah ini yang menceritakan kisah wayang mahabarata setelah para pandawa mengembara Cerita Mahabarata Sinopsis Versi Jawa dan India April 21st, 2019 - Sedang kebingungan mencari cerita Mahabarata Di Indonesia kisah Kematian Sakuni. Kepingan badannya dilempar ke lima penjuru dunia. karya Herjaka HS Karna menjadi panglima perang, dan berhasil menewaskan musuh. Yudhisthira minta agar Arjuna menahan serangan Karna. Arjuna menyuruh Ghatotkaca untuk menahan dengan ilmu sihirnya, Ghatotkaca mengamuk, Korawa lari tunggang-langgang. Karna dengan berani melawan serangan Ghatotkaca. Namun Ghatotkaca terbang ke angkasa. Karna melayangkan panah, dan mengenai dada Ghatotkaca. Satria Pringgandani ini limbung dan jatuh menyambar kereta Karna, tetapi Karna dapat menghindar dan melompat dari kereta. Ghatotkaca mati di atas kereta Karna. Para Pandawa berdukacita. Hidimbi pamit kepada Dropadi untuk terjun ke perapian bersama jenasah anaknya. Pertempuran terus berkobar, Drona berhasil membunuh tiga cucu Drupada, kemudian membunuh Drupada, dan raja Wirata. Maka Dhrtadyumna ingin membalas kematian Drupada. Kresna mengadakan tipu muslihat. Disebarkannya berita, bahwa Aswatthama gugur. Yudhisthira dan Arjuna mencela sikap Kresna itu. Kemudian Bhima membunuh kuda bernama Aswatthama, kemudian disebarkan berita kematian kuda Aswatthama. Mendengar berita kematian Aswatthama, Drona menjadi gusar, lalu pingsan. Dhrtadyumna berhasil memenggal leher Drona. Aswatthama membela kematian ayahnya, lalu mengamuk dengan menghujamkan panah Narayana. Arjuna sedih atas kematian gurunya akibat perbuatan yang licik. Arjuna tidak bersedia melawan Aswatthama, tetapi Bhima tidak merasakan kematian Drona. Dhrtadymna dan Satyaki saling bertengkar mengenai usaha perlawanan terhadap Aswatthama. Kresna dan Yudhisthira menenangkan mereka. Pandawa diminta berhenti berperang. Tapi Bhima ingin melanjutkan pertempuran, dan maju ke medan perang mencari lawan, terutama ingin menghajar Aswatthama. Saudara-saudaranya berhasil menahan Bhima. Arjuna berhasil melumpuhkan senjata Aswatthama. Putra Drona ini lari dan sembunyi di sebuah pertapaan. Karna diangkat menjadi panglima perang. Banyak perwira Korawa yang memihak kepada Pandawa. Pada waktu tengah malam, Yudhisthira meninggalkan kemah bersama saudara-saudaranya. Mereka khidmat menghormat kematian sang guru Drona, dan menghadap Bhisma yang belum meninggal dan masih terbaring di atas anak panah yang menopang tubuhnya. Bhisma memberi nasihat agar Pandawa melanjutkan pertempuran, dan memberi tahu bahwa Korawa telah ditakdirkan untuk kalah. Pandawa melanjutkan pertempuran melawan Korawa yang dipimpin oleh Karna. Karna minta agar Salya mau mengusiri keretanya untuk menyerang Kresna dan Arjuna. Salya sebenarnya tidak bersedia, tetapi akhirnya mau asal Karna menuruti perintahnya. Pertempuran berlangsung hebat, disertai caci maki dari kedua belah pihak. Bhima bergulat dengan Doryudana, kemudian menarik diri dari pertempuran. Dussasana dibunuh oleh Bhima, sebagai pembalasan sejak Dussasana menghina Drupadi. Darah Dussasana diminumnya. Arjuna perang melawan Karna. Naga raksasa bernama Adrawalika musuh Arjuna, ingin membantu Karna dengan masuk ke anak panah Karna untuk menembus Arjuna. Ketika hendak disambar panah, kereta yang dikusiri Kresna dirundukkan, sehingga Arjuna hanya terserempet mahkota kepalanya. Naga Adrawalika itu ditewaskan oleh panah Arjuna. Ketika Karna mempersiapan anak panah yang luar biasa saktinya, Arjuna telah lebih dahulu meluncurkan panah saktinya. Tewaslah Karna oleh panah Arjuna. Doryudhana menjadi cemas, lalu minta agar Sakuni melakukan tipu muslihat. Sakuni tidak bersedia karena waktu telah habis. Diusulkannya agar Salya jadi panglima tinggi. Sebenarnya Salya tidak bersedia. Ia mengusulkan agar mengadakan perundingan dengan Pandawa. Aswatthama menuduh Salya sebagai pengkhianat, dan menyebabkan kematian Karna. Tuduhan itu menyebabkan mereka berselisih, tetapi dilerai oleh saudara-saudaranya. Aswatthama tidak bersedia membantu perang lagi. Salya terpaksa mau menjadi panglima perang. Nakula disuruh Kresna untuk menemui Salya, dan minta agar Salya tidak ikut berperang. Nakula minta dibunuh daripada harus berperang melawan orang yang harus dihormatinya. Salya menjawab, bahwa ia harus menepati janji kepada Duryodhana, dan melakukan darma kesatria. Salya menyerahkan kematiannya kepada Nakula dan agar dibunuh dengan senjata Yudhisthira yang bernama Pustaka, agar dapat mencapai surga Rudra. Nakula kembali dengan sedih. Salya menemui Satyawati, pamit maju ke medan perang. Isteri Salya amat sedih dan mengira bahwa suaminya akan gugur di medan perang. Satyawati ingin bunuh diri, ingin mati sebelum suaminya meninggal. Salya mencegahnya. Malam hari itu merupakan malam terakhir sebagai malam perpisahan. Pada waktu fajar Salya meninggalkan Satyawati tanpa pamit, dan dipotongnya kain alas tidur isterinya dengan keris. Salya memimpin pasukan Korawa. Amukan Bhima dan Arjuna sulit untuk dilawannya. Salya menghujankan anak panahnya yang bernama Rudrarosa. Kresna menyuruh agar Pandawa menyingkir. Yudhisthira disuruh menghadap Salya. Yudhisthira tidak bersedia harus melawan pamannya. Kresna menyadarkan dan menasihati Yudhisthira. Yudhisthira disuruh menggunakan Kalimahosadha, kitab sakti untuk menewaskan Salya. Salya mati oleh Kalimahosadha yang telah berubah menjadi pedang yang bernyala-nyala. Kematian Salya diikuti oleh kematian Sakuni oleh Bhima. Berita kematian Salya sampai kepada Satyawati. Satyawati menuju medan perang, mencari jenasah suaminya. Setelah ditemukan, Satyawati bunuh diri di atas bangkai suaminya. Duryodhana melarikan diri dari medan perang, lalu bersembunyi di sebuah sungai. Bhima dapat menemukan Duryodhana yang sedang bertapa. Duryodhana dikatakan pengecut. Duryodhana sakit hati, lalu bangkit melawannya. Bhima diajak berperang dengan gada. Terjadilah perkelahian hebat. Baladewa yang sedang berziarah ke tempat-tempat suci diberi tahu oleh Narada tentang peristiwa peperangan di Hastina. Kresna menyuruh Arjuna agar Bhima diberi isyarat untuk memukul paha Duryodhana. Terbayarlah kaul Bhima ketika hendak menghancurkan Duryodhana dalam perang Bharatayudha. Baladewa yang menyaksikan pergulatan Bhima dengan Duryodhana menjadi marah, karena Pandawa dianggap tidak jujur, lalu akan membunuh Bhima. Tetapi maksud Baladewa dapat dicegah, dan redalah kemarahan Baladewa.. Subalidinata Penelitiberasumsi bahwa dengan media pembelajaran yang tepat dengan menggunakan Macromedia Flash, maka pembelajaran wayang dalam mata pelajaran Bahasa Jawa dapat memberi
Narasi mahabarata adalah sebuah cerita runtuh temurun yang berusul dari India, cerita ini diambil dari sebuah kitab. Kisah Mahabarata kini diangkat kedalam sebuah layar gelas dan dibanjiri penggemar. Tetapi di tanah Jawa sendiri terdapat kisah dengan inti yang sama berjudul Kakawin Baratayuda yang ditulis oleh Mpu Sedah atas perintah Pangeran Jayabaya berbunga Kekaisaran Kediri. Cerita tersebut dahulu disajikan kepada masyarakat setempat menunggangi wayang kulit laksana media bakal bercerita. Sungguhpun mempunyai inti nan setolok, Mahabarata mempunyai perbedaan antara versi India dan versi Indonesia. perbedaan yang terdapat pada kedua versi ini ialah ibarat berikut. 1. Status Drupadi Takdirnya pada versi India diceritakan bahwa Drupadi ialah gendak berbunga kelima pandawa, intern versi Jawanya drupadi merupakan Ulam-ulam berpunca Yudhistira seseorang. Adaptasi ini dilakukan karena poliandri merupakann hal yang benar-etis pantangan lebih lagi pada masyarakat Indonesia momen ini. 2. Senjata Bima Source
21November 2010 by Imam Khanafi. Cerita timun mas dalam bahasa inggris ini berasal dari daerah jawa tengah mengisahkan tentang janda yang menginginkan seorang anak lalu didatangi raksasa yang bisa memberikan anak dengan syarat setelah usianya enam tahun harus diserahkan kepada raksasa untuk disantap. Lalu raksasa memberikan biji mentimun yang Tag perang baratayudha Cerita Wayang Mahabharata Arjuna Ing Perang Baratayuda Sugeng sonten sedulur, Ing sonten punika kula badhe cariyos babagan Arjuna Ing Perang Baratayuda. Nggih langsung kemawon sugeng maos. 🙂 Ana jroning perang Baratayuda Arjuna dadi senopati Para Pandawa sing kedadeyan mateni akeh para satriya Kurawa karo senotapi-senopati liyane. Sing mati neng tangan Arjuna yaiku Raden Jayadrata sing wis mateni Abimanyu, Raden Citraksa, Prabu Bogadenta,…
JumantaraVol. 3 No.2 Tahun 2012. penulisan karakter tulisan tangan Jawa, Bali dan Sasak yang ditemukan dari peninggalan Dr. H.N. van der Tuuk, serta Kamus Kawi-Bali-Nederlandsch yang diterbitkan pada tahun , 1901 dan 1903 oleh Perpustakaan Universitas Leiden pada tahun 1903, menjelang wafatnya.
Mulabukane Perang Baratayudha Sadurunge mandhita BegawanAbiyasa kuwi Ratu Ngastina jejuluh Prabu Kresna Dwipayana duwe anak telu, Raden Destarastra, Raden Pandhudewanata lan Raden Widura. Raden Destarastra mripale wuta. Raden Pandhu gulune lengeng. Raden Widura sikile gejik. Anake ratu Ngestina telu-telune cacat. Gandheng Raden Destarastra wuta mula ora dadi ratu. Sing madeg ratu Raden Pandhu. Jejuluke Prabu Pandudewanata. Prabu Pandhu duwe anak lima lanang kabeh, mula dijenengi Pandhawa lima. Pambarepe Raden Punta, panenggake Raden Bratasena, penengahe Raden Janaka banjur kembar Raden Pinten lan Raden Tangsen. Raden Destarastra duwe anak satus dijenengi sata kurawa. Tegese kurawa cacah satus, lanang 99 lan wadon siji jenenge Dewi Dursilawati. Pambarepe Raden Jaka Pitana utawa suyudana. Nomer loro Raden Pursasana, Raden Kartamarma, Raden Durmagati, Raden Citaraksa lan Raden Citraksi. Prabu Pandhu mati nalika Pandhawa isih cilik-cilik. Mula keprabon Ngastina banjur dipasrahake marang adipati Dhestarastra minangka Prabu Wakil. Sang Prabu wakil banjur wisuda Raden Jaka Pitana dadi ratu Ngastina jejuluke Prabu Duryudana. Nalika Pandhawa wis gedhe, Raden Puntha wis dadi ratu ing ngamarta. Najan wis dadi ratu,Prabu Puntadewa tetep njaluk baline keraton Ngastina. Para kurawa ora ngulungake. Pungkasane dadi perang gedhe kang diarani perang Barathayudha. Perang rebutan warisan jalaran padha murkane. Prabu Duryudana murka ora gelem mbalekake. Negara Ngastina sanajan mung dijaluk separo negara. Prabu Puntadewa ya murka, wis duwe negara isih kemelikan njaluk negara warisan. Pungkasane perang Barathayudha, para Kurawa mati kabeh kari putune siji aran Raden Parikesit. Sedulur tunggal embah Kurawa lan Pandhawa ora kena kanggo tuladha. Jalaran paten-patenan mung amarga rebutan warisan. Kamangka jeneng sedulur mono kudu rukun. Kaya unen-unen kuna ”Rukun Agawe santosa. Crah agawe bubrah” SurotoAnoman Maneges Martono. Perang Jawa Kehormatan Darah dan Airmata 3 Akarasa. Persiapan Perang Baratayudha di Istana Negara. 5 Besar Perang BARATAYUDHA 2 Lapak Padel Independent Tegal. Cerita Baratayuda Versi Jawa - BaseDroid. BARATAYUDA 1 Preview Baratayuda amp Kresna Gugah. Rumah Wayang Cerita Baratayudha scribd com. Cerita Wayang
BAGI masyarakat Jawa,kehidupan sehari-hari adalah senatiasa terbentuk dan memiliki kaitan terhadaptiga hal yang saling berkelindan. Hubungan sesama manusia, hubungan manusia dengan alam, serta hubungan manusia dengan Tuhan adalah tiga serangkai elemen kehidupan sehari-hari yang dimaksud. Pemahaman semacam tadi selaras dengan konsep Tri Hita Karana tiga sumber kebahagiaan yang berakar dari zaman Jawa Kuna dan hingga kini masih berkembang dalam masyarakat Bali yang melestarikan ajaran Hindu. Memiliki pula keselarasan dengan konsep khalifah dalam ajaran Islam yang dikenal lebih belakangan oleh masyarakat Jawa. Pemahaman tersebut menegaskan bahwa dalam kondisi apapun, manusia di alam semesta tidak bisa dilepaskan dan memang menjalani hidup yang bergerak menuju kepada Sang Ilahi. Dalam masyarakat Jawa, ini dikenal sebagai konsep sangkan paraning dumadi. Apa yang dituliskan oleh KGPAA Mangkunegara IV dalam bait I Serat Wedhatama sedikit banyak dapat menggambarkan spirit ideal tersebut . Kang tumrap neng tanah Jawa agama ageming aji. Bagi mereka yang mendiami tanah Jawa, agama adalah berguna sebagai penentu martabat Dalam menyampaikan pesan atau petuah moral, orang Jawa seringkali memakai narasi karya sastra ataupun cerita tutur, yang sering kali merupakan narasi-narasi yang berakar dari zaman Jawa Kuna dengan banyak warna pengaruh Hindu-Buddha bersenyawa di dalamnya. Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java menegaskan bahwa Islam yang datang ke Jawa pun tidak sanggup menghapus konsep ini. Bahkan Raffles sendiri mengakui dirinya tidak mampu memahami ruang batin dan logika binner orang Jawa. P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku 2016 mengatakan bahwa melalui kajian karya sastra dapat diketahui cara berpikir para pujangga yang mewakili orang Jawa kala itu. Sementara bila berbicara tentang karya sastra, Zoetmulder dalam Kalangwan 1983 menggambarkan bahwa karya sastra di Jawa telah berkembang sejak masa Jawa Kuna atau masa dominasi Hindu/Buddha. Secara historis, karya sastra warisan Jawa Kuna tidak pula terlepas dari pengaruh India. Namun,oleh masyarakat Jawa dengan kearifan lokalnya, karya-karya sastra India digubah dan ditulis pujangga Jawa sesuai dengan alam berpikir masyarakat Jawa. Bahkan hal ini memengaruhi tradisi tulis di Jawa dengan munculnya aksara dan bahasa Jawa Kuna yang merupakan salah satu dialek bahasa pribumi di Jawa. Ramayana Salah satu karya sastra India yang digubah ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan bahkan disesuaikan kepada latar budaya Jawa adalah epos Ramayana. Di Jawa, cerita ini digubah pujangga Jawa menjadi bentuk kakawin dan ditulis dalam bahasa Kawi maupun Jawa Baru. Cerita ini biasanya ditampilkan dalam seni wayang, sendratari, bahkan dipahatkan dalam relief candi seperti Candi Prambanan dan Candi Panataran. Secara keseluruhan, wiracarta Ramayana di Jawa sama dengan India, yaitu berkisah tentang Rama, awatara Wisnu dalam wujud ksatria, yang menjalani pengembaraan selama 14 tahun, kehilangan Sinta sang istri yang diculik oleh raja raksasa Rahwana dari Alengka, sampai akhirnya dengan bantuan bala tentara kera pimpinan Sugriwa dan Hanoman harus memerangi seisi Alengka untuk merebut kembali Sinta. Hanya saja, cerita Ramayana versi Jawa berhenti di bagian Sinta diboyong kembali ke Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi Raja. Itulah alasannya cinta luar biasa Rama-Sinta sering menjadi inspirasi setiap pasangan. Itu tadi beda dengan Ramayana asli versi India. Sekembalinya Rama dan Sinta ke Ayodya, mereka setelah beberapa lama hidup bersama akan lantas berpisah kembali selama bertahun-tahun. Itu terjadi karena beredarnya desas-desus di antara rakyat Ayodya yang meragukan kesucian Sinta selama tinggal di Istana Alengka. Alhasil, Sinta sampai harus bermukim di hutan dan melahirkan maupun membesarkan sepasang anak kembarnya, Lawa dan Kusya, di sana. Bharatayuddha Lakon akbar lain dari India yang digubah ke latar budaya adalahMahabharata. Penggubahannya pun memunculkan banyak versi yang fokus kepada salah satu bagian di antara contohnya adalah Arjunawiwaha, Bharatayuddha, Hariwangsa, Krsnayana, Ghatotkacasraya, hingga Sudamala. Namun, dari sekian banyak sastra gubahan atas Mahabharata, Bharatayuddha adalah satu yang terpenting. Ini antara lain karena kakawin tersebut fokus kepada fragmen terpenting dari Mahabharata, yakni perang besar kubu Pandawa dan Kurawa di Padang Kurusetra, yang merupakan pula klimaks dari keseluruhan alur cerita Mahabharata. Bharatayuddhaberarti “Perang [Wangsa] Bharata. Cerita tersebuti ditulis tahun 1157 oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, atas perintah Maharaja Jayabhaya dari Kediri. Konon sebagai simbol keadaan perang saudara antara Kediri dengan sesama cabang Wangsa Isyana, yakni Janggala. Sebagaimana dipaparkan Zoetmulder dalam Kalangwan, Bharatayuddadibuka dengan kisah Krisna menjadi duta pihak Pandawa yang mendatangi Istana Hastinapura untuk berunding dengan kubu Kurawa. Sayangnya, proposal perdamaian yang diajukan Krisna ditolak dan bahkan dihina pihak Kurawa, menjadikan perang di Kurusetra tak lagi bisa terhindarkan. Cerita kemudian berlanjut dengan penggambaran hari demi hari peperangan di Padang Kurusertra. Itu mulai dari ketika Sweta alias Seta menjadi panglima pihak Pandawa, sedangkan Bhisma menjadi panglima pihak Kurawa. Dipungkasi dengan rangkaian perang tanding Bima melawan Duryudana, aksi gerombolan Aswatama melakukan serangan tengah malam ke perkemahan pihak Pandawa, lalu perjalanan menuju surga yang dilakukan oleh Krisna dan lima bersaudara Pandawa. Bharatayuddayang berbahasa Kawi kemudian diadaptasi ke bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuddha. Penggubahan selanjutnya ini dikerjakan oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta. Dalam waktu kurang lebih beriringan, Bharatayuddha ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha oleh pujangga Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisan ulangnya dimulai tanggal 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848. * BaikRamayana versi Jawa maupun Bharatayuddha selaku kakawin terpenting di antara sekian gubahan Mahabharatapada dasarnya mengandung suatu pesan moralpengingat bahwa harapan itu selalu ada, meski kesulitan datang silih berganti. Alang-alang dudu aling-aling margining keutamaan. Demikian sepenggal petuah bijak yang dikenal orang Jawa dalam hal memandang masalah dan dalam kehidupan semestinya tidak dilihat sebagai penghambat, tetapi justru menjadi jalan bagi kesempurnaan. Jadi jangan sampai ada pemikiran untuk lari dari permasalahan. Hadapilah dan selesaikan secara tuntas. Apapun hasilnya pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. Bagi orang Jawa yang kini mayoritas menganut Islam, pesan moral seperti di atas tentu dapat pula dikenal selaras dengan apa yang ada dalam QS. Al-Insyirah 5-6 “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. ” DAFTAR PUSTAKA Iyegar, Kodaganallur R. Srinivasa. Asian Variations in Ramayana. Papers Presented at the International Seminar on Variations in Ramayana in Asia Their Cultural, Social, and Anthropological Significance, New Delhi, Januari 1981. Jatmiko, Adityo. 2015. Tafsir Ajaran Serat Wedhatama. Yogyakarta Pura Pustaka. Poerbatjaraka, Prof. Dr. 1952. Kapustakaan Djawi. Jakarta Djambatan. Raffles, Thomas Stamford. 2015. The History of Java. Yogyakarta Narasi. Riyanto, Mas. 2018. Bharatayuda Jayabinangun. Uwais Inspirasi Indonesia. Swantoro, Pollycarpus. 2016. Dari Buku ke Buku. Jakarta Kepustakaan Populer Gramedia. Zoetmulder, 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta Djambatan.
mahabharataperang baratayuda antv perang mahabharata perang baratayuda antv''Cerita Baratayuda Versi Jawa - BaseDroid May 2nd, 2018 - Profil Tokoh Dan Pemain New Mahabarata Kaskus The Largest Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan Di Yogyakarta cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul

Uploaded byM Yusuf Dali 0% found this document useful 0 votes1K views7 pagesCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document0% found this document useful 0 votes1K views7 pagesBaratayudaUploaded byM Yusuf Dali Full descriptionJump to Page You are on page 1of 7Search inside document You're Reading a Free Preview Pages 4 to 6 are not shown in this preview. Buy the Full Version Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.

Masihdalam Baratayuda, Arjuna yang baru saja kehilangan putra kesayangannya menjadi kehilangan semangat, ditambah lagi guru dan saudara-saudaranya satu-persatu gugur di medan Kurusetra. Prabu Kresna lalu memberi nasihat bahwa dalam perang itu tidak ada kawan-lawan, kakak-adik ataupun guru-murid semuanya adalah takdir dan harus dijalani.
100% found this document useful 1 vote105 views2 pagesDescriptioncerita wayang, baratayudha. jawa tengah, wayang kulit, pandhawa kurawaCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?100% found this document useful 1 vote105 views2 pagesBaratayudhaDescriptioncerita wayang, baratayudha. jawa tengah, wayang kulit, pandhawa kurawaFull descriptionJump to Page You are on page 1of 2 You're Reading a Free Preview Page 2 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Ingintahu cerita wayang mahabarata bahasa jawa secara lengkap?Simak sebuah sinopsis dalam bahasa jawa di bawah ini yang menceritakan kisah wayang mahabarata setelah para pandawa mengembara selama 12 tahun di dalam hutan. Seperti apa cerita tersebut yang dikemas dalam bahasa jawa?Langsung Perlu anda ketahui Kisah Baratayuda adalah versi
Versi Jawa Baratayuda Baratayuda adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah MahaBharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India. Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha, yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta. Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848. Sebab Peperangan Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi MahaBharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa atau Yudistira melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana. Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi. Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, sehingga membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu. Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi MahaBharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu. Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Keputusan inilah yang membuat perang Baratayuda tidak dapat dihindari lagi. Kitab Jitabsara Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi MahaBharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara Guru, raja kahyangan. Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata. Aturan Peperangan Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi MahaBharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju. Sebagai contoh, apabila dalam versi MahaBharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima. Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh Duryudana sendiri, yang seringkali dilakukannya tanpa perhitungan cermat. Pembagian babak Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan Jawa. Babak 1 Seta Gugur Babak 2 Tawur Bisma Gugur Babak 3 Paluhan Bogadenta Gugur Babak 4 Ranjapan Abimanyu Gugur Babak 5 Timpalan Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur Babak 6 Suluhan Gatotkaca Gugur Babak 7 Karna Tanding Babak 8 Rubuhan Duryudana Gugur Babak 9 Lahirnya Parikesit Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama. Babak pertama Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma Resi Bisma sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti “gunung samudra.” Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada pemukul Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika. Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa. Babak Kedua Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna Trustajumena sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang Garuda terbang. Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga anak Setyaki, Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna. Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut, Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi. Tawur demi kemenangan Dalam babak ini juga diadakan korban demi syarat kemenangan pihak yang sedang berperang. Resi Ijrapa dan anaknya Rawan dengan sukarela menyediakan diri sebagai korban Tawur bagi Pandawa. Keduanya pernah ditolong Bima dari bahaya raksasa. Selain itu satria Pandawa terkemuka, Antareja yang merupakan putra Bima juga bersedia menjadi tawur dengan cara menjilat bekas kakinya hingga tewas. Sementara itu Sagotra, hartawan yang berhutang budi pada Arjuna ingin menjadi korban bagi Pandawa. Namun karena tidak tahu arah, ia bertemu dengan Korawa. Oleh tipu muslihat Korawa, ia akan dipertemukan dengan Arjuna, namun dibawa ke Astina. Sagotra dipaksa menjadi tawur bagi Korawa, namun menolak mentah-mentah. Akhirnya, Dursasana, salah satu anggota Kurawa membunuhnya dengan alasan sebagai tawur pihak Korawa. Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa. Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah “Garuda” yang masyur gagah berani Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana pada ekor Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru – Pendeta Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa, jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu. Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung
Baratayuda1 Moklas Learning. Buku baratayudha (part 1) Paguyuban Pecinta Wayang. Kisah teladan sunan muria Dadang Furqon. Cerita rakyat daerah jawa barat Cerita rakyat bahasa jawa, Keong Mas, Jaka Tarub, Rawa Pening Agoeng R Aiueo. CERITA RAKYAT MENGGUNAKAN BAHASA JAWA (ARISKA COMPNET)
Kisah mahabarata adalah sebuah cerita turun temurun yang berasal dari India, kisah ini diambil dari sebuah kitab. Cerita Mahabarata kini diangkat kedalam sebuah layar kaca dan dibanjiri di tanah Jawa sendiri terdapat cerita dengan inti yang sama berjudul Kakawin Baratayuda yang ditulis oleh Mpu Sedah atas perintah Raja Jayabaya dari Kerajaan tersebut lalu disajikan kepada masyarakat setempat menggunakan wayang kulit sebagai media untuk bercerita. Meskipun memiliki inti yang sama, Mahabarata memiliki perbedaan antara versi India dan versi yang terdapat pada kedua versi ini adalah sebagai Status Drupadi Jika pada versi India diceritakan bahwa Drupadi adalah istri dari kelima pandawa, dalam versi Jawanya drupadi merupakan Istri dari Yudhistira seseorang. Adaptasi ini dilakukan karena poliandri merupakann hal yang benar-benar tabu bahkan pada masyarakat Indonesia saat Senjata Bima
\n\n \ncerita baratayuda versi bahasa jawa
FOdYbD.
  • 04g8vlists.pages.dev/47
  • 04g8vlists.pages.dev/453
  • 04g8vlists.pages.dev/156
  • 04g8vlists.pages.dev/525
  • 04g8vlists.pages.dev/395
  • 04g8vlists.pages.dev/716
  • 04g8vlists.pages.dev/202
  • 04g8vlists.pages.dev/998
  • cerita baratayuda versi bahasa jawa